Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 01 September 2019

Sejarah Filsafat Ilmu Pengtahuan

Menurut sejarah, pada awalnya yang dimaksud dengan Filsafat Ilmu adalah filsafat sains. Namun pada kenyataannya Filsafat Ilmu sebagai sebuah disiplin memiliki objek kajian yang cukup luas yaitu baik natural sciences maupun social sciences sampai yang tergolong dalam ilmu humanities, termasuk ilmu–ilmu keagaamaan dan kebahasaan.
Pemikiran filsafati banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah poradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mite-mite menjadi yang lebih rasional. Pola pikir mite-mite adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskari fenomena alam,
Perubahan pola pikir tersebut kelihatannya sederhana, tetapi implikasinya tidak sederhana karena selama ini alam ditakuti dan dijauhi kemudian didekati bahkan dieksploitasi. Manusia yang dulunya pasif dalam menghadapi fenomena alam menjadi lebih proaktif dan kreatif ,sehingga alam dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Dari proses inilah kemudian ilmu berkembang dari dalam filsafat, yang akhirnya kita nikmati dalam bentuk teknologi. Karena itu periode perkembangan filsafat Yunani merupakan poin untuk memasuki peradaban baru ummat manusia.
Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidak langsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap, evolutif. Untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau harus melalui pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Periodesasi perkembangan ilmu di sini dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada kontemporer.
Zaman Purba (15 SM - 7 SM)
Pada dasarnya manusia di zaman purba hanyalah menerima semua peristiwa sebagai fakta. Sekalipun dilaksanakan pengamatan, pengumpulan data dan sebagainya, namun mereka sekadar menerima pengumpulan saja. Fakta-fakta hanya diolah sekadarnya, hanya untuk menemukan soal yang sama, yaitu common denominator, itu pun barangkali tanpa sengaja, tanpa tujuan. Kalaupun ada penegasan atau keterangan, maka keterangan itu senantiasa dihubungkan dengan dewa-dewa dan mistik. Oleh karena itulah pengamatan perbintangan menjelma menjadi astrologi. pengamatan yang dilakukan oleh manusia pada zaman purba, yang menunjukkan bahwa manusia di zaman purba masih berada pada tingkatan sekedar menerima, baik dalam sikap maupun dalam pemikiran
Perkembangan pengetahuan dan kebudayaan manusia pada zaman purba dapat diruntut jauh ke belakang, bahkan sebelum abad 15 SM, terutama pada zaman batu. Pengetahuan pada masa itu diarahkan pada pengetahuan yang bersifat praktis, yaitu pengetahuan yang memberi manfaat langsung kepada masyarakat. Kapan dimulainya zaman batu tidak dapat ditentukan dengan pasti, namun para ahli berpendapat bahwa zaman batu berlangsung selama jutaan tahun.
Sesuai dengan namanya, zaman batu, pada masa itu manusia  menggunakan batu sebagai peralatan. Hal ini tampak dari temuan- temuan seperti kapak yang digunakan untuk memotong membelah. Selain menggunakan alat-alat yang terbuat dari batu manusia pada zaman itu juga menggunakan tulang binatang. Alat yang terbuat dari tulang binatang antara lain digunakan  menyerupai fungsi jarum untuk menjahit. Ditemukannya benda- benda hasil peninggalan pada zaman batu merupakan suatu bukti bahwa manusia sebagai makhluk berbudaya mampu berkreasi untuk mengatasi tantangan alam sekitarnya.
Perkembangan kebudayaan terjadi lebih cepat setelah manusia menemukan dan menggunakan api dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memanfaatkan api untuk menghangatkan tubuh, ketergantungan manusia akan iklim menjadi berkurang Api kemudian juga digunakan untuk memasak dan perlengkapan dalam berburu. Di zaman yang lebih maju nantinya, arti api menjadi lebih penting. Pengetahuan tentang proses pemanasan dan peleburan merintis jalan pada pembuatan alat dari tembaga, perunggu dan besi. Dalam catatan sejarah misalnya, peralatan besi digunakan pertama kali di Irak abad ke-15 SM.
Perkembangan pengetahuan secara lebih cepat terjadi beberapa ribu tahun sebelum Masehi. Peristiwa ini terjadi ketika manusia berada pada zaman batu muda. pada masa ini mulailah revolusi besar dalam cara hidup manusia. Manusia mulai mengenal pertanian, mengenal kehidupan bermukim (menetap), membangun rumah, mengawetkan makanan, memulai irigasi, dan mulai beternak hewan. Pada masa itu juga telah muncul kemampuan menulis, membaca dan berhitung. Dengan adanya kemampuan menulis, beberapa peristiwa penting dapat dicatat dan kemudian dapat dibaca oleh orang lain sehingga akan lebih cepat disebarkan. Kemampuan berhitung juga sangat menunjang perkembangan pengetahuan karena catatan tentang suatu peristiwa menjadi lebih lengkap dengan data yang relatif lebih teliti dan lebih jelas.
Menurut Anna Poedjiadi (1987:28-32) pada zaman purba perkembangan pengetahuan telah tampak pada beberapa bangsa, seperti Mesir, Babylonia, Cina dan India. Ada keterkaitan saling pengaruh antara perkembangan pemikiran di satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pembuatan alat-alat perunggu di Mesir abad ke-17 SM memberi pengaruh terhadap perkembangan yang diterapkan di Eropa. Bangsa Cina abad ke-15 SM juga telah mengembangkan teknik peralatan perunggu di zaman Dinastii Shang, sedangkan peralatan besi sebagai perangkat perang sudah dikenal pada abad ke-5 SM pada zaman Dinasti Chin. India memberikan surnbangsih yang besar dalam perkembangan matematik dengan penemuan sistem bilangan desimal. Budhisme yang diadopsi oleh raja Asoka, kaisar ketiga Di Mautya, telah menyumbangkan sistem bilangan yang menjadi titik tolak perkembangan sistem bilangan pada zaman modern: India bahkan sudah menemukan roda pemutar untuk pembuat tembikar pada abad ke-30 SM. Sayangnya peradaban yang sudah maju itu mengalami kepunahan pada abad ke-20 SM, baik yang disebabkan oleh bencana alam maupun oleh peperangan.
Secara umum dapat dinyatakan bahwa pengetahuan pada zaman purba ditandai dengan adanya lima kemampuan, yaitu (1) pengetahuan didasarkan pada pengalaman (empirical knowledge (2) pengetahuan berdasarkan pengalaman itu diterima sebagai fakta dengan sikap receptive mind, dan kalaupun ada keterangan tentang fakta tersebut, maka keterangan itu bersifat mistis,magis dan religius; (3) kemampuan menemukan abjad dan sistem bilangan alam sudah menampakkan perkembangan pemikiran manusia ke tingkat abstraksi; (4) kemampuan menulis, berhitung, menyusun kalender yang didasarkan atas sintesis terhadap abstraksi yang dilakukan; dan (5) kemampuan meramal peristiwa-peristiwa fisis atas dasar peristiwa-peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi, misalnya gerhana bulan dan matahari (Santoso,1977: 27-28)
Zaman Yunani (7 SM - 6 M)
Zaman Yunani Kuno dipandang sebagai zaman keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk mengungkapkan ide-ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu dan filsafat, karena Bangsa Yunani pada masa itu tidak lagii mempercayai mitologi-mitologi. Bangsa Yunani juga tidak dapat menerima pengalaman yang didasarkan pada sikap receptive attitude atau suatu sikap menerima begitu saja, melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude yaitu suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis. Sikap inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern. Sikap kritis inilah menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli pikir terkenal sepanjang masa. Beberapa filsuf pada masa itu antara lain Thales, Phytagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Zaman Keemasan Filsafat Yunani 
Pada waktu Athena dipimpin oleh Perikles kegiatan politik filsafat dapat berkembang dengan baik. Ada segolongan kaum yang pandai berpidato (rethorika) dinamakan kaum sofis. Mereka mengajarkan pengetahuan pada kaum muda. menjadi objek penyelidikannya bukan lagi alam tetapi manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh Pythagoras, manusia adalah  ukuran untuk segala-galanya. Hal ini ditentang oleh Socrates dengan mengatakan bahwa yang- benar dan yang baik dipandang sebagai nilai-nilai objektif yang dijunjung tinggi oleh semua orang. Akibat ucapannya tersebut Socrates dihukum mati.
Hasil pemikiran Socrates dapat ditemukan pada muridnya Plato. Dalam filsafatnya Plato mengatakan: realitas seluruhnya terbagi  atas dua dunia yang hanya terbuka bagi panca indra dan dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita. Dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua dunia ide.
Pendapat tersebut dikritik  oleh Aristoteles dengan mengatakan bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkret “ide manusia' tidak terdapat dalam kenyataan”. Aristoteles adalah filosof realis, dan sumbangannya pada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Sumbangan yang sampai sekarang masih digunakan dalam ilmu pengetahuan adalah mengenai abstraksi, yakni aktivitas rasional di mana seseorang memperoleh pengetahuan. Menurut Aristoteles ada tiga macam abstraksi, yakni abstraksi fisis, abstraksi matematis, dan metafisis.
Abstraksi yang ingin menangkap pengertian dengan membuang unsur-unsur individual untuk mencapai kualitas adalah abstraksi fisis. Sedangkan abstraksi di mana subjek menangkap unsur  kuantitatif dengan menyingkirkan unsur kualitatif disebut abstraksi matematis. Abstraksi di mana seseorang menangkap unsur-unsur yang hakiki dengan mengesampingkan unsur-unsur lain disebut abstraksi metafisis. (Harry Hamersma,1983)
Teori Aristoteles yang cukup terkenal adalah tentang materi dan bentuk. Keduanya merupakan prinsip-prinsip metafisis, materi adalah prinsip yang tidak ditentukan, sedangkan bentuk adalah prinsip yang menentukan. Teori ini terkenal dengan sebutan Hylemorfisme.
Masa Helinistis dan Romawi.
Pada zaman Alexander Agung telah berkembang sebuah kebudayaan trans nasional yang disebut kebudayaan Helinistis, karena kebudayaan Yunani tidak terbatas lagi pada kota-kota Yunani saja, tetapi mencakup juga seluruh wilayah yang ditaklukkan Alexander Agung. Dalam bidang filsafat, Athena tetap merupakan suatu pusat yang penting, tetapi berkembang pula pusat-pusat intelektual lain, terutama kota Alexandria. Akhirnya ekspansi Romawi meluas sampai ke wilayah Yunani, itu tidak berarti kesudahan kebudayaan dan filsafat Yunani, karena kekaisaran Romawi pun pintu dibuka lebar untuk menerima warisan kultural Yunani.
Dalam bidang filsafat tetap berkembang, namun pada saat itu tidak ada filsuf yang sungguh-sungguh besar kecuali Plotinus.
Pada masa ini muncul beberapa aliran berikut.:
a.     Stoisisme
Menurut paham ini jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut Logos. Oleh karena itu, segala kejadian berlangsung menurut ketetapan yang tidak dapat dihindari.
b.    Epikurisme
Segala-galanya terdiri atas atom-atom yang senantisa bergerak. Manusia akan bahagia jika mau mengakui susunan dunia ini dan tidak boleh takut pada dewa-dewa.
c.    Skeptisisme
Mereka berpikir bahwa bidang teoretis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran. Sikap umum mereka adalah kesangsian
d.    Eklitisisme
Suatu kecenderungan umum yang mengambil berbagai unsur filsafat dari aliran-aliran lain tanpa berhasil mencapai suatu Pemikiran yang sungguh-sungguh.¬
e.     Neo Platonisme
Paham yang ingin menghidupkan kembali filsafat Plato. Tokohnya adalah Plotinus. Seluruh filsafatnya berkisar pada Allah sebagai yang satu. Segala sesuatu berasal dari `yang satu` dan ingin kembali kepada-Nya. (K. Bertens,1988:16-18)
Zaman Pertengahan (6 M -15 M)
Zaman pertengahan merupakan suatu kurun waktu yang ada hubungannya dengan sejarah bangsa-bangsa di benua Eropa. Pengertian umum tentang zaman pertengahan yang berkaitan dengan perkembangan pengetahuan ialah suatu periode panjang yang dimulai dari jatuhnya kekaisaran Romawi Barat tahun 476 M hingga timbulnya Renaissance di Italia.
Zaman pertengahan (Midle Age) ditandai dengan pengaruh yang cukup besar dari agama Katolik terhadap kekaisaran dan perkembangan kebudayaan pada saat itu. Pada umumnya orang  Romawi sibuk dengan masalah keagamaan tanpa memperhatikan masalah duniawi dan ilmu pengetahuan. Pada masa itu yang tampil dalam lapangan ilmu pengetahuan adalah para teolog. Para ilmuwan pada masa ini hampir semua adalah para teolog sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancilla theologiae, abdi agama. Oleh karena itu sejak jatuhnya kekaisaran Romawi Barat hingga kira-kira abad ke-10, di Eropa tidak ada kegiatan dalam bidang ilmu pengetahuan yang spektakuler yang dapat dikemukakan. Periode ini dikenal pula dengan sebutan abad kegelapan.
Menjelang berakhirnya abad tengah, ada beberapa kemajuan yang tampak dalam masyarakat yang berupa penemuan-penemuan. Penemuan-penemuan tersebut antara lain pembaruan penggunaan bajak yang dapat mengurangi penggunaan energi petani. Kincir air mulai digunakan untuk menggiling jagung.
Pada abad ke-13 ada pula kemajuan dan pembaruan dalam bidang perkapalan dan navigasi pelayaran. Perlengkapan kapal¬ memperoleh kemajuan sehingga kapal dapat digunakan lebih efektif. Alat-alat navigasinya pun mendapat kemajuan pula. Kompas mulai digunakan orang di Eropa. Keterampilan dalam membuat tekstil dan pengolahan kulit memperoleh kemajuan setelah orang mengenal alat pemintal kapas.
Kemajuan lain yang penting pada masa akhir abad tengah adalah keterampilan dalam pembuatan kertas. Keterampilan ini berasal dari Cina dan dibawa oleh orang Islam ke Spanyol. Di samping itu orang juga telah mengenal percetakan dan pembuatan bahan peledak.
Berbeda dengan keadaan di Eropa yang mengalami abad kegelapan, di dunia Islam pada masa yang sama justru mengalami masa keemasan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peradaban dunia Islam, terutama pada zaman Bani Umayah telah menemukan suatu cara pengamatan astronomi pada abad ke-7 M, delapan abad sebelum Galileo Galilei dan Copernicus melakukannya. Pada zaman keemasan kebudayaan Islam juga dilakukan penerjemahan, berbagai karya Yunani, dan bahkan khalifah Al-Makmun telah mendirikan Rumah Kebijaksanaan (House of Wisdom) pada abad ke-9 M.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat pada dunia Islam tersebut dimungkinkan oleh adanya pengamatan yang terus-menerus dan pencatatan yang teratur serta adanya dorongan dan bantuan dari pihak para raja yang memerintah. Dengan demikian untuk pertama kalinya dalam sejarah, tiga faktor penting yaitu politik, agama dan ilmu pengetahuan, berada pada satu tangan, raja atau sultan. Keadaan ini sangat menguntungkan perkembangan ilmu pengetahuan lebih lanjut. Selama 600 - 700 tahun lamanya kemajuan kebudayaan dan ilmu pengetahuan tetap ada pada bangsa-bangsa yang beragama Islam.
Menurut Slamet Iman Santoso (1997:64) sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan dalam tiga hal, yaitu : (1) menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskannya sedemikian rupa, sehingga pengetahuan ini menjadi dasar perkembangan kemajuan di dunia Barat sampai sekarang, (2) memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan dan (3) menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.
Beberapa orang yang memberi sumbangan besar dalam perkembangan pengetahuan dan teknologi di dunia Islam antara lain A1 Khawarizmi, Omar Khayam, Jabir Ibnu Hayan, Al-Razi, Ali Ibnu Sina, Al-Idrisi dan Ibn Khaldun.
Muhammad Ahmad AL Khawarizmi menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad lamanya di Eropa. Ia juga menulis buku tentang perhitungan biasa (arithmetics). Buku tersebut menjadi pembuka jalan di Eropa untuk mempergunakan cara desimal, yang menggantikan penulisan dengan angka Romawi. Khawarizmi luga telah memperkenalkan persamaan pangkat dua dalam aljabar.
Jabir Ibnu Hayan (720 – 800 M ) banyak mengadakan eksperimen, antara lain tentang ktistalisasi, melarutkan, sublimasi, dan reduksi. Di samping mengadakan eksperimen, ia juga banyak menulis antara lain tentang proses pembuatan baja, pemurnian logam, memberi warna pada kain dan kulit, cara membuat kain tahan air, cara pembuatan zat warna untuk rambut. Ia juga menulis tentang pembuatan tinta, pembuatan gelas, cara memekatkan asam cuka dengan cara distilasi. Mengeni unsur-unsur  ia berpendapat bahwa logam atau mineral itu terdiri atas dua unsur penting yakni raksa dan belerang dengan berbagai macam susunan. Logam atau mineral berbeda karena susunan unsur-unsurnya berbeda.
Dalam bidang kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi atau di negara Barat dikenal dengan sebutan Razes (850-923 M) dan Ibn Sina atau Avicenna (980-1037 M). Razes sangat banyak menulis buku, di antaranya100 buah buku tentang kedokteran, 33 buah buku tentang ilmu pengetahuan alam termasuk alkimia, l l buah buku tentang matematika dan astronomi, dan lebih dari 45 buah buku tentang filsafat dan teologia. Salah satu hasil karyanya tersebut adalah sebuah ensiklopedia kedokteran berjudul Continens. Sementara itu Ibn Sina juga menulis buku-buku tentang kedokteran yang diberi nama Al-,Qanun. Buku ini menjadi buku standar dalam ilmu kedokteran di Eropa sampai ± tahun 1650. (Santoso, 1997: 63). Selain itu Abu'1 Qasim atau Abu'1 Casis menulis sebuah ensiklopedi kedokteran, yang antara lain menelaah, ilmu bedah serta menunjukkan peralatan yang dipakai dimasa itu {± tahun 1013).
Ibn Rushd atau Averoes (1126-1198 M) seorang ahli kedokteran yang menerjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Dari tulisannya terbukti bahwa Ibn Rushd mengikuti aliran -evolusionisme, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa semua yang ada di dunia tidak tercipta tiba-tiba dan dalam keadaan yang selesai, melainkan semuanya terjadi melalui perkembangan, untuk akhirnya menjelma dalam keadaan yang selesai.
Tokoh lain yang juga turut berjasa dalam pengembangan ilmu  pengetahuan di dunia Islam, terutama dalam bidang geografi adalah Al-Idrisi (1100-1166 M). la telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenall pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Roger II dari kerajaan Sicilia.
Dalam khasanah pengetahuan sosial, di dunia Islam terdapat nama Ibn Khaldun (1332 -1406 M), yang memiliki nama lengkap Abu Zaid Abdal-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami. la merupakan seorang ahli sejarah, politik, sosiologi, dan ekonomi, Ia sering dianggap sebagii perintis ilmu sosial dan peletak dasar sosiologi. Hasil karyanya yang termasyhur adalah sebuah buku berjudul A1-Muqaddimah. Dalam bukunya tersebut, ia membahas tentang perkembangan masyarakat dan perubahan dalam masyarakat. Sebagai penemu ilmu masyarakat-yang baru, Ibn Khaldun berusaha keras agar objektif dalam memaparkan masyarakat ketimbang menemukan obat untuk menyembuhkan "penyakit" masyarakat (Baali,1989:191).
Dalam pandangan Ibn Khaldun, gejala sosial mengikuti pola dan hukum tertentu, dan dengan sendirinya akan menghasilkan akibat-¬akibat tertentu pula. Dikatakan bahwa hukum-hukum sosial tidak hanya mengena pada perseorangan, tetapi pada semua orang. Hukum-hukum sosial akan berlaku sama bagi masyarakat, meskipun terpisah ruang dan waktu: Oleh karena itu hukum-¬hukum ini tidak dipengaruhi oleh seseorang. Seorang pemimpin tidak dapat memperbaiki keadaan sosial, kalau tidak mendapat dukungan dari masyarakat.
Sebagai peletak dasar sosiologi, Ibn Khaldun mempergunakan banyak metode dan teori untuk menjelaskan faktor yang ada dalam masyarakat. Misalnya, bangsa terjajah akan meniru bangsa yang menjajah, karena merasa bahwa kemenangan disebabkan oleh keunggulan, baik teknik maupun lembaganya, dan hal itu perlu ditiru supaya yang terjajah juga rriendapatkan kesuksesan.
Pokok pemikiran dari Ibn Khaldun terletak pada `asabiyah atau solidaritas sosial yang menjadi kodrat manusia yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia ialah makhluk sosial, oleh karena itu diperlukan suatu ikatan dalam bentuk negara. Solidaritas sosial ini amat kuat pada masyarakat pengembara. Negara dapat terbentuk dan menjadi kuat atas dasar solidaritas ini, tetapi setelah terbentuk berkuranglah ikatan solidaritas, karena adanya kekuasaan yang harus dipatuhi. Dengan demikian tujuan dari solidaritas adalah kekuasaan.
Zaman Renaissance (14 M -17 M)
Zaman Renaissance ditandai sebagai era kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Renaissance ialah zaman peralihan ketika kebudayaan Abad Pertengahan mulai berubah menjadi suatu kebudayaan modern. Manusia pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas. Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur tangan Ilahi. Penemuan ilmu pengetahuan modern' sudah mulai dirintis pada Zaman Renaissance. Ilmu pengetahuan yang berkembang maju pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokoh yang terkenal seperti Roger Bacon, Copernicus, Johannes Keppler, dan Galileo Galilei. Berikut cuplikan pemikiran para filusuf tersebut.
l. Roger Bacon, berpendapat bahwa pengalaman (empiris) menjadi landasan utama bagi awal dan ujian akhir bagi semua ilmu pengetahuan. Matematika merupakan syarat mutlak untuk mengalah semua pengetahuan.
2.Copernicus, mengatakan bahwa bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari, sehingga matahari menjadi pusat (heliosentririsme). Pendapat ini berlawanan dengan pendapat umum yang berasal dari Hipparahus dan Ptolomeus yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisme).
3, Johannes Keppler, menemukan tiga buah hukum yang melengkapii penyelidikan Brahe sebelumnya, yaitu:
a. Bahwa gerak benda angkasa itu ternyata bukan bergerak mengikuti lintasan circle, namun gerak itu mengikuti lintasan elips. Orbit semua planet berbentuk elips.
b. Dalam waktu yang sama, garis penghubung antara planet dan matahari selalu melintasi bidang yang luasnya sama.
c. Dalam perhitungan matematika terbukti bahwa bila jarak rata-rata dua planet A dan B dengan matahari adalah X dan Y, sedangkan waktu untuk meliintasi orbit masing-¬masing adalah P dan Q, maka P2: Q2 X3: Y3.
4. Galileo Galilei, membuat sebuah teropong bintang yang terbesar pada masa itu dan mengamati beberapa peristiwa angkasa secara langsung. Ia menemukan beberapa peristiwa panting dalam bidang astronomi. Ia melihat bahwa planet Venus dan Mercurius menunjukkan perubahan-perubahan seperti halnya bulan, sehingga ia menyimpulkan bahwa planet-¬planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari (Rizal Mustansyir,1996)

Zaman Modern (17 M -19 IV)
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah. Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sesungguhnya sudah dirintis sejak Zaman Renaissance. Seperti Rene Descartes, tokoh yang terkenal sebagai bapak filsafat modern. Rene Descartes juga seorang ahli ilmu pasti. Penemuannya dalam ilmu pasti adalah sistem koordinat .Selain itu pada zaman ini ada juga filsuf-filsuf lain misalnya: Isaac Newton, Caharles Darwin.

Zaman Kontemporer (Abad ke-20 dan seterusnya)
Di antara ilmu khusus yang dibicarakan oleh para filsuf, bidang fisika menempati kedudukan yang paling tinggi. Menurut Trout (dalam Riza1 Mustansyir, dkk., 2001) fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek ma¬terinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta. la juga menunjukkan bahwa secara historis hubungan antara fisika dengan filsafat terlihat dalam dua cara. Pertama, diskusi filosofis mengenai metode fisika, dan dalam interaksi antara pandangan substansial tentang fisika (misalnya: tentang materi, kuasa, konsep ruang, dan waktu). Kedua, ajaran filsafat tradisi¬onal yang menjawab fenomena tentang materi, kuasa, ruang, dan waktu. Dengan demikian, sejak semula sudah ada hubungan yang erat antara filsafat dan fisika.
Fisikawan termasyhur abad ke-20 adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa alam itu tidak berhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi. Ini berarti bahwa alam semesta itu bersifat kekal, atau dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam. Dii samping teori mengenai fisika, teori alam semesta, dan lain-lain, Zaman Kontemporer ini ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih. Teknologi komunikasi dan informasi termasuk salah satu yang mengalami kemajuan sangat pesat. Mulai dari penemuan komputer, berbagai satelit komunikasi, internet, dan sebagai¬nya. Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara mendalam. Ilmu kedokteran semakin menajam dalam spesialis dan subspesialis atau super-spesialis, demikian pula bidang ilmu lain. Di samping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan lainnya, sehingga dihasilkannya bidang ilmu baru seperti bioteknologi yang dewasa ini dikenal dengan teknologi kloning.

Sehingga dapat kita simpulkan pokok pembahasan dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah sejarah perkembangan ilmu dan teknologi, hakikat dan sumber pengetahuan dan kriteria kebenaran. Di samping itu, Filsafat Ilmu juga membahas persoalan objek, metode, dan tujuan ilmu. Yang tidak kalah pentinganya adalah sarana ilmiah. Filsafat Ilmu mengalami sejarah yang panjang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan tidak bisa lepas dari perkembangan pemikiran secara teoritis yaitu senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani .Oleh karena itu periodesasi perkembangan ilmu disusun mulai dari peradaban Yunani kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer.
Diharapkan perkembangan ilmu yang begitu spektakuler di satu sisi dan nilai-nilai moral di sisi lain dapat dijadikan arah dalam menuntun perkembangan ilmu selanjutnya. Sebab, tanpa adanya bimbingan moral terhadap ilmu dikhawatirkan kehebatan ilmu dan tekhnologi tidak semakin menyejahterakan manusia, tetapi justru merusak dan bahkan menghancurkan kehidupan manusia.




Sabtu, 31 Agustus 2019

Sarana Berpikir Ilmiah "Bahasa, Matematika, & Statistika"

Bahasa
Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada komunikasi. Tanpa komunikasi, apakah manusia dapat bersosialisasi dan apakah manusia layak disebut dengan makhluk sosial? Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berpikir sistematis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan bahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas dunia baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein yang menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku”. Untuk dapat berpikir ilmiah, seseorang selayaknya menguasai kriteria ataupun langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah. Dengan menguasai hal tersebut tujuan yang akan digapai akan terwujud. Di samping menguasai langkah-langkah, tentunya kegiatan ini dibantu oleh sarana berupa bahasa, logika matematika, dan statistika. Berbicara masalah sarana ilmiah, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu pertama, sarana ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan kumpulan pengetahuan yang didapat berdasarkan metode ilmiah, seperti menggunakan pola berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan penelaahan ilmiah secara baik. Ketika bahasa disifatkan dengan ilmiah, fungsinya untuk komunikasi disifatkan dengan ilmiah juga, yakni komunikasi ilmiah. Komunikasi ilmiah ini merupakan proses penyampaian informasi berupa pengetahuan. Untuk mencapai komunikasi ilmiah maka bahasa digunakan harus terbebas dari unsur emotif. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)
Matematika
Semua ilmu pengetahuan sudah mempergunakan matematika, baik matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistik. Philosophy modern juga tidak akan tepat bila pengetahuan tentang matematika tidak mencukupi. Banyak sekali ilmu-ilmu sosial yang mempergunakan matematika sebagai sosiometri, psychometri, ekonometri, dan seterusnya. Hampir bisa dikatakan bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Dalam hal ini kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika yang dibuat secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Sebuah objek yang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjanjian. Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dalam bahasa verbal, bila kita membandingkan dua objek yang berlainan, umpamanya gajah dan semut maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari pada semut. Namun, jika ingin diketahui berapa besar gajah dibanding semut maka kita akan mengalami kesukaran dalam menghubungkannya dengan bahasa verbal. Oleh karena itu, diperlukan bahasa matematika untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif dan matematika mampu menjelaskan pernyataan dalam bentuk kuantitatif. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak dan memungkinkan pemecahan masalah secara tepat serta cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang induksi-deduksi imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari ilmu. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)
Statistika
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah diuji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah merupakan fakta, di mana konsekuensinya dapat diuji, baik dengan jalan mempergunakan pancaindra maupun dengan alat-alat yang membantu pancaindra tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau kita telaah lebih dalam, pengujian merupakan proses pengumpulan data yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Sekiranya hipotesis didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya, jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan, hipotesis itu ditolak. Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individu. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih saksama. Kesimpulan yang ditarik dalam penalaran deduktif adalah benar jika premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sementara dalam penalaran induktif, meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu benar. Namun, kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Pengambilan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang dihadapi. Dalam hal ini statistika memberikan jalan keluar untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Statistika sebagai sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)




Langkah-langkah Epistimologi Ilmu

Langkah-langkah Epistimologi Ilmu


  1. Epistimologi ilmu dapat juga diartikan sebagai pengetahuan, pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan sebagai berikut:
  2. Metode induktif, Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari pernyataanpernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
  3. Metode Deduktif, Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulankesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jelas menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
  4. Metode positivisme, Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798−1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian, metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi pada bidang gejala-gejala saja.
  5. Metode Kontemplatif,  Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indra dan akal menusia untuk memperoleh pengetahuan sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbedabeda harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi, pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh Al-Ghazali.
  6. Metode Dialektis, Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh socrates. Namun Palto mengartikan diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)



Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi

Ontologi
  • Ontologi dalam filsafat ilmu merupakan studi atau pengkajian mengenai sifat dasar ilmu yang memiliki arti, struktur, dan prinsip ilmu. Ontologi filsafat sebagai cabang filsafat adalah ilmu apa, dari jenis dan struktur dari objek, properti, peristiwa, proses, serta hubungan dalam setiap bidang realitas. Ontologi sering digunakan oleh para filsuf sebagai sinonim dari istilah yang digunakan oleh Aristoteles untuk merujuk pada apa yang Aristoteles sendiri sebut ‘filsafat pertama’. Kadang-kadang ‘ontologi’ digunakan dalam arti yang lebih luas untuk merujuk pada studi tentang apa yang mungkin ada; metafisika kemudian digunakan untuk penelitian dari berbagai alternatif yang mungkin ontologi sebenarnya sejati dari realitas (Ingarden 1964). Istilah ‘ontologi’ (atau ontologia) diciptakan pada tahun 1613 secara mandiri oleh dua filsuf, Rudolf Gockel (Goclenius) di Philosophicumnya Lexicon dan Jacob Lorhard (Lorhardus) di Theatrumnyaphilosophicum. Kejadian pertama dalam bahasa Inggris sebagaimana dicatat oleh OED muncul diKamus Bailey dari tahun 1721 yang mendefinisikan ontologi sebagai penjelasan di dalam Abstrak. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)
Epistimologi
  • Epistemologi atau teori pengetahuan cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasardasarnya, serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Epistemologis membahas tentang terjadinya dan kesahihan atau kebenaran ilmu. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia berhubungan satu sama lain dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat yang berbeda-beda. Sebagian ilmu merupakan asas dan fondasi bagi ilmu-ilmu lain, yakni nilai dan validitas ilmu-ilmu lain bergantung pada ilmu tertentu dan dari sisi ini, ilmu tertentu ini dikategorikan sebagai ilmu dan pengetahuan dasar. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)
Aksiologi
  • Bedasarkan bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata ‘axios’ dalam bahasa Yunani artinya nilai dan logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa aksiologi adalah ‘ilmu tentang nilai’.
  • Aksiologi lebih difokuskan kepada nilai kegunaan ilmu. Ilmu dipandang akan berpautan dengan moral. Nilai sebuah ilmu akan diwarnai sejauh mana ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap ilmu yang dimiliki, apakah akan dipergunakan untuk suatu kebaikan atau akan digunakannya sebagai sebuah kejahatan. Oleh karena itu, ilmu akan mengalami kemajuan apabila ilmuwan mempunyai peradaban. (Jujun. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.)



Senin, 26 Agustus 2019

Pengalaman, Berpikir Deduktif, Berpikir Induktif, & Metode Ilmiah

  • Pengalaman
Asumsi awal manusia mendapatkan pengetahuan secara empirik melalui pengamatan dan pengalaman. Data-data indrawi, benda-benda memori manusia merupakan beberapa instrumen dalam mendapatkan pengetahuan. Di samping itu, perasaan intuitif atau insting juga menambah kepercayaan terhadap penemuan yang didapatkan sehingga kepercayaan terhadap suatu objek pengetahuan menimbulkan keyakinan terhadap ilmu pengetahuan tertentu. Ilmu pengetahuan itu dapat ditinjau kembali kebenarannya. Jika terdapat kekeliruan, akan timbul ketidakpuasan sebagai akibat keterbatasan manusia khususnya dalam penggunaan instrumen atau pengolahan data-data indrawi dalam menerima pengetahuan tanpa dia ketahui kemudian melahirkan mitos. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari rasa ingin tahu terhadap suatu realitas yang kurang terpuaskan, terutama mengenai hal-hal gaib. Namun, seiring dengan perkembangan pola pikir manusia yang haus akan rasa ingin tahu melalui kajian-kajian ilmu pengetahuan maka pada akhirnya melahirkan pengetahuan yang ilmiah. Pengetahuan ilmiah memerlukan alasan dan/atau penjelasan secara sistematis yang dibuat untuk memberikan keyakinan. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)

  • Berpikir deduktif
Metode deduksi adalah kebalikan dari induksi. Kalau induksi bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus ke umum, metode deduksi sebaliknya yaitu bergerak dari hal-hal yang bersifat umum (universal) kemudian ditetapkan hal-hal yang bersifat khusus.Pada umumnya, logika deduktif didapatkan melalui metode Sillogisme yang dicetuskan oleh Filsuf Klasik, Aristoteles. Silogisme terdiri atas premis mayor yang mencakup pernyataan umum, premis minor yang merupakan pernyataan tentang hal yang lebih khusus, dan kesimpulan yang menjadi penyimpul dari kedua penyataan sebelumnya. Dengan demikian, kebenaran dalam silogisme atau logika deduktif ini didapatkan dari kesesuaian antara kedua pernyataan (premis mayor dan minor) dan kesimpulannya. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)

  • Berpikir Induktif
Metode induksi adalah suatu cara penganalisis ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus (individu) menuju pada hal yang besifat umum (universal). Jadi, cara induksi dimulai dari penelitian terhadap kenyataan khusus satu demi satu, kemudian diadakan generalisasi dan abstraksi, lalu diakhiri dengan kesimpulan umum. Metode induksi ini memang paling banyak digunakan oleh ilmu pengetahuan, utamanya ilmu pengetahuan alam yang dijalankan dengan cara observasi dan eksperimentasi. Jadi, metode ini berdasarkan pada fakta-fakta yang dapat diuji kebenarannya. Dengan metode induksi maka kita dapat menarik kesimpulan yang dimulai dari kasus khusus/khas/individual untuk mendapatkan kesimpulan lebih umum/general/fundamental. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)

  • Metode Ilmiah
Metode ilmiah atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai scientific method adalah proses berpikir untuk memecahkan masalah secara sistematis, empiris, dan terkontrol. Langkah-langkah metode ilmiah (1) merumuskan masalah, (2) merumuskan hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) menguji hipotesis, dan (5) merumuskan kesimpulan. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)









Sabtu, 24 Agustus 2019

Berfikir Filsafat & Berpikir Ilmiah

Perbedaan Berpikir Filsafat dengan Berpikir Ilmiah
A.   Ciri-ciri berpikir secara kefilsafatan menurut Ali Mudhofir sebagai berikut.
  • Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara radikal. Radikal berasal dari bahasa Yunani, Radix artinya akar. Berpikir secara radikal adalah berpikir sampai ke akar-akarnya, berpikir sampai pada hakikat, esensi, atau sampai ke substansi yang dipikirkan. Manusia yang berfilsafat dengan akalnya berusaha untuk menangkap pengetahuan hakiki, yaitu pengetahuan yang mendasari segala pengetahuan indrawi.
  • Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara universal (umum). Berpikir secara universal adalah berpikir tentang hal-hal serta proses-proses yang bersifat umum, dalam arti tidak memikirkan hal-hal yang parsial. Filsafat bersangkutan dengan pengalaman umum dari umat manusia. Dengan jalan penelusuran yang radikal itu filsafat berusaha sampai pada berbagai kesimpulan yang universal (umum).
  • Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara konseptual. Konsep di sini adalah hasil generalisasi dari pengalaman tentang hal-hal serta prosesproses individual. Dengan ciri yang konseptual ini, berpikir secara kefilsafatan melampaui batas pengalaman hidup sehari-hari.
  • Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara koheren dan konsisten. Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir (logis). Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.
  • Berpikir secara kefilsafatan dicirikan secara sistematik. Sistematik berasal dari kata sistem. Sistem di sini adalah kebulatan dari sejumlah unsur yang saling berhubungan menurut tata pengaturan untuk mencapai sesuatu maksud atau menunaikan sesuatu peranan tertentu. Dalam mengemukakan jawaban terhadap sesuatu masalah. Pendapatpendapat yang merupakan uraian kefilsafatan harus saling berhubungan secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)
B.   Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
  • Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasannya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait didalamnya.
  • Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahannya.
  • Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
  • Pengujian hipotesis merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakkta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut apa tidak.
  • Penarikan kesimpulan merukapan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. (Jujun. 2009. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.)



Literatur Lahirnya Filsafat

Literatur tentang lahirnya filsafat


Lahirnya filsafat terdapat beberapa masa dan kelahiran filsafat tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan imu pengetahuan.
  • Masa Yunani
Pada masa periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena saat itu terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logo-sentris. Pola pikir mitosentris adalah pola pikir masyarakat yang sangat mengenal mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Namun, ketika filsafat di perkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.
  • Masa Abad Pertengahan
Masa ini diawali dengan lahirnya filsafat Eropa. Sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang dipengaruhi oleh kepercayaan maka filsafat atau pemikiran pada abad pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan selalu didasarkan atas agama sehingga corak pemikiran kefilsafatannya bersifat teosentris. Baru pada abad ke-6 Masehi, setelah mendapatkan dukungan dari Karel Agung, didirikanlah sekolah-sekolah yang memberi pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi, dan musik. Keadaan tersebut akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada abad ke-13 yang ditandai berdirinya universitas-universitas dan ordo-ordo.
  • Masa Abad Modern
Pada masa abad modern ini pemikiran filsafat berhasil menempatkan manusia pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan sehingga corak pemikirannnya antroposentris, yaitu pemikiran filsafat mendasarkan pada akal pikir dan pengalaman. Sebelumnya telah dikemukakan bahwa munculnya Renaisance dan Humanisme sebagai awal masa abad modern, di mana para ahli (filsuf) menjadi pelopor perkembangan filsafat (kalau pada abad pertengahan yang menjadi pelopor perkembangan filsafat adalah para pemuka agama). Pemikiran filsafat masa abad modern ini berusaha meletakkan dasar-dasar bagi metode logis ilmiah. Pemikiran filsafat diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada upaya manusia agar dapat menguasai lingkungan alam menggunakan berbagai penemuan ilmiah.
  • Masa Abad Dewasa ini
Filsafat dewasa ini atau filsafat abad ke-20 juga disebut filsafat kontemporer yang merupakan ciri khas pemikiran filsafat adalah desentralisasi manusia karena pemikiran filsafat abad ke-20 ini memberikan perhatian yang khusus pada bidang bahasa dan etika sosial. Dalam bidang bahasa terdapat pokok-pokok masalah; arti kata-kata dan arti pernyataan-pernyataan. Masalah ini muncul karena realitas saat ini banyak bermunculan berbagai istilah, di mana cara pemakainnnya sering tidak dipikirkan secara mendalam sehingga menimbulkan tafsir yang berbeda-beda (bermakna ganda). Oleh karena itu, timbulah filsafat analitika yang di dalamnya membahas tentang cara berpikir untuk mengatur pemakaian kata-kata/istilahistilah yang menimbulkan kerancauan, sekaligus dapat menunjukkan bahayabahaya yang terdapat di dalamnya. Karena bahasa sebagai objek terpenting dalam pemikiran filsafat, para ahli pikir menyebut sebagai logosentris. Dalam bidang etika sosial memuat pokok-pokok masalah apakah yang hendak kita perbuat di dalam masyarakat dewasa ini. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)


"Ontologi Ilmu" Filsafat Ilmu

ONTOLOGI ILMU
 

BAB I  
PENDAHULUAN  

A.    Latar Belakang  

Pada setiap kajian ilmu pada dasarnya memiliki dua jenis objek, yang pertama objek material dan yang kedua objek formal. Objek material dikatakan sebagai sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti perilaku manusia yang adalah objek material strategi manajemen pemasaran. Ada juga objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Menurut Bakhtiar (2005: 2) menjelaskan objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Ada yang tampak adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam metafisika. Objek material filsafat dibagi atas tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam pikiran, dan yang ada dalam sudut kemungkinan. Adapun objek formal filsafat adalah sudut pandang yang menyeluruh, radikal, dan rasional tentang segala yang ada.
Cakupan objek filsafat cenderung lebih luas dibandingkan dengan ilmu karena ilmu hanya terbatas pada persoalan yang empiris saja, sedangkan filsafat mencakup yang empiris dan non empiris. Karenanya menurut pembahasan beberapa pakar filsafat, proses terbentuknya ilmu itu sendiri tidaklah dapat dipisahkan dari kajian filsafat karena secara historis ilmu berasal dari kajian filsafat. Sejak awal filsafat melakukan pembahasan tentang segala yang ada ini secara sistematis, rasional dan logis, termasuk pula hal yang empiris. Setelah berjalan beberapa lama, kajian yang terkait dengan hal yang empiris semakin bercabang dan berkembang, sehingga menimbulkan spesialisasi dan menampakkan kegunaan yang praktis. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2007: 24) yang mengemukakan bahwa filsafat adalah marinir yang merupakan pionir, bukan pengetahuan yang bersifat memerinci. Karena filsafat menyerahkan daerah yang sudah dimenangkannya kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Semua ilmu, baik ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, bertolak dari pengembangannya bermula sebagai filsafat.
Dalam perkembangannya, filsafat tidak hanya dipandang sebagai suatu induk dan sumber ilmu, tetapi sudah merupakan bagian dari ilmu itu sendiri, yang juga mengalami spesialisasi dan sudah menjadi sektoral. Contohnya, filsafat agama, filsafat hukum, dan filsafat ilmu adalah bagian dari perkembangan filsafat yang sudah menjadi sektoral dan terkotak dalam satu bidang tertentu. Filsafat ilmu merupakan bagian dari cabang-cabang filsafat, yaitu epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Filsafat ilmu yang sedang dibahas adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu karena filsafat adalah induk dari ilmu itu sendiri, mengutip pernyataan Bakhtiar (2005: 7) filsafat tidak dapat hanya berada pada laut lepas, tetapi diharuskan juga membimbing ilmu. Di lain sisi, perkembangan ilmu yang sangat cepat tidak saja membuat ilmu semakin jauh dari induknya, tetapi juga mendorong munculnya arogansi dan bahkan kompartementalisasi yang tidak sehat diantaranya satu bidang ilmu biasanya ilmuwan fisika melihat diri mereka lebih tinggi daripada ilmuwan ilmu sosial dengan yang lain. Tugas filsafat diantaranya adalah menyatukan visi keilmuan itu sendiri agar tidak terjadi bentrokan antara berbagai kepentingan. Dalam konteks inilah kemudian ilmu sebagai kajian filsafat sangat relevan untuk dikaji dan didalami.
Di dalam filsafat terdapat istilah ontologi yang merupakan hakikat apa saja yang akan dikaji dalam filsafat pendidikan. Apakah hakikat kenyataan ini sebenar-benarnya? Adapun hakikat yang akan dikaji yaitu mengenai metafisika, asumsi, peluang, beberapa asumsi dalam ilmu, dan batas - batas penejelajahan ilmu.

B.    Rumusan Masalah
  1. Apakah yang dimaksud ontologi?
  2. Apa sajakah yang menjadi masalah dalam ontologi?
  3. Bagaimana bentuk aliran paham dalam ontologi?
  4. Apakah yang menjadikan kelebihan dan kekurangan ilmu?
C.    Tujuan
  1. Mengetahui apa yang dimaksud ontologi
  2. Memahami apa yang menjadi masalah dalam ontologi
  3. Mengetahui bentuk aliran paham dalam ontologi
  4.  Memahami kelebihan dan kekurangan ilmu

BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi Ontologi
Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada (wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas). Secara bahasa, kata ontologi berasal dari perkataan Yunani, yaitu : Ontos berarti being, dan Logos berarti Logic. Jadi, dapat dikatakan ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan) atau bisa juga ilmu tentang yang ada (bakhtiar,2005: 219).
Istilah ontologi pertama kali diperkenalkan oleh rudolf Goclenius pada tahun 1936 M, untuk menamai hakekat yang ada bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754) dalam (bakhtiar,2005: 219). membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus.
Metafisika umum adalah istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafiska atau otologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi menjadi Kosmologi, Psikologi dan Teologi.
Ada 3 hal yang berkaitan dalam mempelajari ontologi ilmu, yaitu: Metafisika, Probabilitas dan Asumsi . Secara etimologis metafisika berasal dari kata “meta” dan “fisika” (Yunani). “meta” berarti sesudah, di belakang atau melampaui, dan “fisika”, berarti alam nyata. Kata fisik (physic) di sini sama dengan “nature”, yaitu alam. Metafisika merupakan cabang dari filsafat yang mempersoalkan tentang hakikat, yang tersimpul di belakang dunia fenomenal. Metafisika melampaui pengalaman, objeknya di luar hal yang ditangkap pancaindra.
Metafisika mempelajari manusia, namun yang menjadi objek pemikirannya bukanlah manusia dengan segala aspeknya, termasuk pengalamannya yang dapat ditangkap oleh indra. Namun metafisika mempelajari manusia melampaui atau diluar fisik manusia dan gejala-gejala yang dialami manusia. Metafisika mempelajari siapa manusia, apa tujuannya, dari mana asal manusia, dan untuk apa hidup di dunia ini. Jadi, metafisika mempelajari manusia jauh melampaui ruang dan waktu. Begitu juga pembahasan tentang kosmos maupun Tuhan, yang dipelajari adalah hakikatnya, di luar dunia fenomenal (dunia gejala), menurut (Salam 1997: 71)
Dalam perkembangannya Christian Wolf (1679-1754) dalam salam (1997:71) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan khusus. Metafisika umum adalah istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafisika atau ontologi adalah cabang filsafat yang membahas tentang prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan metafisika khusus masih terbagi menjadi Kosmologi, Psikologi, Teologi, dan Antropologi.
Hal lain yaitu Probabilitas atau sering disebut Peluang. Salah satu referensi dalam mencari kebenaran, manusia berpaling kepada ilmu. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dari ilmu tersebut yang dalam proses pembentukannya sangat ketat dengan alatnya berupa metode ilmiah. Hanya saja terkadang kepercayaan manusia akan sesuatu itu terlalu tinggi sehingga seolah-olah apa yang telah dinyatakan oleh ilmu akan bersih dari kekeliruan atau kesalahan. Oleh karena itu manusia yang mempercayai ilmu tidak akan sepenuhnya menumpukan kepercayaannya terhadap apa yang dinyatakan oleh ilmu tersebut.
Hal ini menyadarkan kita bahwa suatu ilmu menawarkan kepada kita suatu jawaban yang berupa peluang. Yang didalamnya selain terdapat kemungkin bernilai benar juga mengandung kemungkinan yang bernilai salah. Nilai kebenarannya pun tergantung dari prosentase kebenaran yang dikandung ilmu tersebut. Sehingga ini akan menuntun kita kepada seberapa besar kepercayaan kita akan kita tumpukan pada jawaban yang diberikan oleh ilmu tersebut.
Hal yang berkaitan dengan ontologi selanjutnya ialah Asumsi. Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai objek empiris. Ilmu menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalin-menjalin secara teratur. Sesuatu peristiwa tidaklah terjadi secara kebetulan namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur. Bahwa hujan diawali dengan awan tebal dan langit mendung, hal ini bukanlah merupakan suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan berulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk kepada hukum-hukum tertentu.
Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke dalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taxonomi yang baik.
Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu. Walaupun begitu tidak mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalanan waktu tiap benda akan mengalami perubahan. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda.
Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y, melainkan mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang) yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). 

B.    Masalah Dalam Ontologi
Dalam kajian ontologi ada beberapa masalah yang perlu dipahami dan dicermati, yaitu :
1.    Jumlah dan ragam
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Kenyataan itu baik dari pengalaman pribadi maupun dari sejarah pemikiran muncul persoalan tentang kesatuan dan kebanyakan, tentang ketunggalan dan kegandaan, tantang keekaan dan keanekaan, tentang kesamaan dan keberlainan. Persoalan itu merupakan pertanyaan ontologi yang paling fundamental, sebab menentukan sudut pandang pertama mengenai kenyataan seutuhnya, dan menberikan arah utama bagi seluruh ontologi.
2.    Pertentangan
Rasanya orang-orang harus memilih salah satu di antara dua kemungkinan tersebut (antara kenyataan yang satu dan yang beragam), jikalau kenyataan itu bersatu, maka kiranya menjadi satu, tunggal, esa dan tidak akan menjadi banyak, ganda dan aneka. Dan demikian pula sebaliknya, jikalau jika kenyataan itu mengandung perbedaan. Atau sekurang-kurangnya salah satu menjadi sifat utama dan karakteristik bagi kenyataan, sedangkan sifat lainnya marupakan kekurangan dan kemerosotan.
3.    Hampiran
Untuk menolak pemecahan persoalan awal ini, ontologi harus menolak dari kenyataan konkret menurut apa adanya. Tidak akan diusahakan menjawab pertanyaan:”Karena apa ada suatu kenyataan?” keniscayaan mengada atau tidaknya itu mustahil diuraikan secara apriori. Adanya kenyataan diterima saja sebagai fakta, dan ontologi berusaha menetapkan batas-batas struktur-strkturnya. Analisis mengenai keseluruhan kenyataan tidak akan dimulai dengan berefleksi tentang kesadaran manusia akan pertanyaan mengenai mengada-pada-umumnya (I’etre, Sein, bieng). Andaikata demikian, maka akan bahaya bahwa rumusan pertanyaan pun telah memuat kekurangan. Titik pangkal penelitian ialah kesadaran manusia mengenai dirinya sendiri sebagai data. Disitulah manusia paling dekat dengan kenyataan.

C.    Aliran Paham Dalam Ontologi
Mempelajari pemahaman ontologi muncul beberapa pandangan-pandangan pokok pemikiran dalam pertanyaan yang kemudian melahirkan aliran-aliran dalam filsafat. Dari masing-masing pertanyaan menimbulkan beberapa sudut pandang mengenai ontologi. Sehingga lahir lima filsafat, yaitu sebagai berikut :
1.    Monoisme : Paham ini menganggap bahwa hakikat yang berasal dari kenyataan adalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik berupa materi maupun rohani. Paham ini terbagi menjadi dua aliran :
1.1    Materialisme. Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering disebut naturalisme. Menurutnya bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta yang hanyalah materi, sedangkan jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri
1.2    Idealisme. Sebagai lawan dari materialisme yang dinamakan spriritualismee. Dealisme berasal dari kata ”Ideal” yaitu suatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atu sejenis denganntya, yaitu sesuatu yang tidak terbentuk dan menempati ruag. Materi atau zat ini hanyalah suatu jenis dari penjelamaan ruhani.
2.    Dualisme : Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari benda, sama-sama hakikat, kedua macam hakikat tersebut masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi, hubungan keduanya menciptakan kehidupan di alam ini. Tokoh paham ini adalah Descater (1596-1650 SM) yang dianggap sebagai bapak Filosofi modern)
3.    Pluralisme, paham ini beranggapan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme tertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata, tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empedcoles, yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api dan udara
4.    Nihilisme, berasal dari bahasa Yunani yang berati nothing atau tidak ada. Istilah Nihilisme dikenal oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fadhers an Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Doktrin tentang Nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman Yunani kuno, yaitu pada pandangan Grogias (483-360 SM) yang memberikan tiga proporsi tentang realitas
5.    Agnostisime, berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknow. A artinya not, Gno artinya know. Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakekat materi maupun hakekat ruhani. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat kita kenal. Jadi paham ini mengenai pengingkaran tau penyangkalan terhada kemampuan manusia mengetahui hakekat benda baik materi maupun ruhani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakekatnya, namun tampaknya agnotisisme lebih dari itu karena menyerah sama sekali.

D.    Kelebihan Dan Kekurangan Ilmu
Dibandingkan pengetahuan lain maka ilmu berkembangn dengan sangat cepat. Salah satu faktor utama yang mendorong perkembangan ini ialah faktor sosial dari komunikasi ilmiah yang membuat penemuan individual segera diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan lainnya. Tersedianya alat komunikasi tertulis dan komunikasi elektronik dalam bentuk majalah, buletin, jurnal, micro film, telegraf dan sebaginya sangat menunjang intensitas komunikasi ini. suatu penemuan baru dinegara yang satu segera dapat diketahui oleh ilmuwan dinegara-negara lain.
Penemuan ini segera diteliti kebenarannya oleh kalangan ilmiah karena prosedur untuk menilai kesahihan (validity) pengetahuan sama-sama telah diketahui dan disetujui oleh seluruh kalangan ilmuwan. Percobaan ilmiah harus selalu dapat diulang dan sekitarnya dalam pengulangan ternyata pernyataannya didukung oleh fakta maka kalangan ilmiah secara tuntas menerima kebenaran pengetahuan tersebut.
Seluruh kalangan ilmiah menganggap permasalahan mengenai hal tersebut telah selesai dan ilmu mendapatkan pengetahuan baru yang diterima oleh masyarakat ilmuwan. Dengan demikian maka ilmu berkembang dengan pesat dalam dinamika yang dipercepat karena penemuan yang satu akan menelorkan penemuan-penemuan lainnya. Hipotesis yang telah teruji kebenaranya segera menjadi teori ilmiah yang kemudian digunakan sebagai premis dalam mengembangkan hipotesis-hipotesis selanjutnya. Secara kumulatif maka teori ilmiah berkembang seperti piramida terbalik yang makin lama makin tinggi.
Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan pada penemuan-penemaun sebelumnya. Sebenarnya hal ini tidak seluruhnya benar karena sampai saat ini belum satupun dari seluruh disiplin keilmuan yang berhasil menyusun suatu teori yang konsisten dan menyeluruh. Bahkan dalam fisika, yang merupakan prototipe bidag keilmuwan yang relatif paling maju, satu teoori yang mencakup segenap teori fisik kita dapat dirumuskan. Usagha untuk menyatukan teori relativitas umum, elektrodinamika, dan kuantum sampai saat ini belum dapat dilaksanaka. Teori ilmiah masih merupakan penjelasan yang bersifat sebagian dan tentatif sesuai dengan tahap perkembangan keilmuan yang masih sedang berjalan. Demikian juga dalam jalur perkembangan ini belum dapat dipastikan bahwa kebenaran yang sekarang ditemukan dan diterima oleh kalangan ilmiah akan benar pula dimasa yang akan datang.
Ilmu telepas dari berbagai kekurangan, dapat memberikan jawaban positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu. Dalam hal ini penilaian terhadap ilmu tidaklah terletak dalam kesahihan teorinya sepanjang zaman, melainkan terletak dalam jawaban yang diberikannya terhadap permasalahan manusia dalam tahap peradaban tertentu. Adapun fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa dalam abad kedua puluh ini kita menggunakan berbagai ragam teknologi seperti mobil, pesawat terbang dan kapal laut, sebagai sarana pengangkutan kita berdasarkan pengetahuan yang kita terima kebenarannya sekarang ini. dikemudian hari mungkin saja ditemukan sarana pengangkutan lain yang cocok dengan peradaban pada waktu itu yang pembuatannya didasarkan atas pengetahuan baru yang akan mengusangkan pengethauna yang sekarang kita anggap benar.
Bagi tahap peradaban kita sekarang ini, maka semua itu tidak menjadi soal karena penerapan pengetahuan kedalam masalah kehidupan kita sehari-hari masih dirasakan banyak manfaatnya. Masalahnya tentunya akan lain lagi bila hal ini dihubungkan dengan pengetahuan yang bersifat mutlak. Manusia dalam menghadapi masalah yang sangat hakiki seperti tuhan dan kemudian tidak bisa lagi mendasarkan diri pada pernyataan-pernyataan ilmiah yang tidak berubah dari waktu kewaktu sesuai dengan perkembangan peadaban manusia.
Dalam hal ini maka ilmu Tidak dapat memberikan jalan keluar dan manusis harus berplaing kepada sumber yang lain, umpamanya agama. Ilmu tidak berwenang untuk menjwabnya, sebab hal itu berada diluar diluar bidang telahaannya. Secara ontologi ilmu membatasi diri hanya dalam ruang ingkup pengalaman manusia. Diluar bidang empiris bisa mengatakan apa-apa. Sedangkan dalam batas kewenangannya ini pun, ilmu bukan tanpa cela, antara lain karena pancaindera manusia yang jauh dari sempurna.
Walaupun demikian kekurangan-kekurangan ini bukan merupakan alasan untuk menolak eksistensi ilmu dalam kehidupan kita. Justru ilmu merupakan pengetahuan yang telah menunjukkan keampuhannya dalam membangun kemajuan peradaban seperti kita lihat sekarang ini. kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan sebagia pedoman untuk meletakkan imu ke dalam tempat yang sewajarnya. Sebab hanya dengan sifat itulah kita dapat memanfaatkan kegunaannya semaksimal mungkin bagi kemaslahatan manusia. Dalam mengatasi segalanya harus kita sadari bahwa ilmu hanyalah sekoalat itu dengan baik atau tidak. Menolak kehadiran ilmu dengan picik bearti kita menutup mata terhadap kemajuan masa kini, yang ditandai oleh kenyataan bahwa hampir semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya dengan jalan mendewa-dewakna ilmu, kita pun gagal untuk mendapatkan pengertian mengenai hakikat ilmu yang sesungguhnya.
Mereka yang sungguh-sungguh berilmu adalah mereka yang mengetahui kelebihan dan kekurangan ilmu, dan menerimanya sebagaimana adanya, mencintainya dengan kebijaksanaan, serta menjadikannya sebagai bagian dari kepribadian dan kehidupannya. Bersama-sama pengetahuan lainnya, dan bersama pelengkap kehidupan lainnya seperti seni dan agama, ilmu melengkapii kehidupan lainnya sepeti seni dan agama, ilmu melengkapi kehidupan dan memenuhi kebahagian kita. Tanpa kesadaran itu, maka kita hanya akan kembali kepada ketidaktahuandan kesengsaraan, seperti disyairkan Bryon dalam Manfred bahwa pengetahuan tak membawa kita ke kebahaigan, dan ilmu tidak lebih dari sekedar bentuk lai dari ketidaktahuan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Ontologi merupakan cabang teori hakikat yang membicarakan hakikat sesuatu yang ada (wujud seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas). Adapun masalah yang terjadi pada ontologi yaitu mengenai jumlah dan ragam, pertentangan dan hampiran. Aliran dalam filsafat Monoisme Dualisme, Pluralisme, Nihilisme, dan Agnostisime. Terdapat 3 hal yang berkaitan dalam mempelajari ontologi ilmu, yaitu: Metafisika, Probabilitas dan Asumsi Ilmu telepas dari berbagai kekurangan, dapat memberikan jawaban positif terhadap permasalahan yang dihadapi manusia pada suatu waktu tertentu. Dalam hal ini penilaian terhadap ilmu tidaklah terletak dalam kesahihan teorinya sepanjang zaman, melainkan terletak dalam jawaban yang diberikannya terhadap permasalahan manusia dalam tahap peradaban tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsall (2005). Filsafat Ilmu. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Salam, Burhanuddin (1997). Logika Materiil (filsafat ilmu pengetahuan). Jakarta: Rineka Cipta.
Suriasumantri, J.S. (2007). Filsafat Ilmu : Sebua Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.




Blog Archive