Sabtu, 31 Agustus 2019

Sarana Berpikir Ilmiah "Bahasa, Matematika, & Statistika"

Bahasa
Bahasa sebagai sarana komunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada komunikasi. Tanpa komunikasi, apakah manusia dapat bersosialisasi dan apakah manusia layak disebut dengan makhluk sosial? Sebagai sarana komunikasi maka segala yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti berpikir sistematis dalam menggapai ilmu dan pengetahuan. Dengan kata lain, tanpa mempunyai kemampuan bahasa, seseorang tidak dapat melakukan kegiatan berpikir secara sistematis dan teratur. Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang dan tiada batas dunia baginya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wittgenstein yang menyatakan: “batas bahasaku adalah batas duniaku”. Untuk dapat berpikir ilmiah, seseorang selayaknya menguasai kriteria ataupun langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah. Dengan menguasai hal tersebut tujuan yang akan digapai akan terwujud. Di samping menguasai langkah-langkah, tentunya kegiatan ini dibantu oleh sarana berupa bahasa, logika matematika, dan statistika. Berbicara masalah sarana ilmiah, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu pertama, sarana ilmiah itu merupakan ilmu dalam pengertian bahwa ia merupakan kumpulan pengetahuan yang didapat berdasarkan metode ilmiah, seperti menggunakan pola berpikir induktif dan deduktif dalam mendapatkan pengetahuan. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan penelaahan ilmiah secara baik. Ketika bahasa disifatkan dengan ilmiah, fungsinya untuk komunikasi disifatkan dengan ilmiah juga, yakni komunikasi ilmiah. Komunikasi ilmiah ini merupakan proses penyampaian informasi berupa pengetahuan. Untuk mencapai komunikasi ilmiah maka bahasa digunakan harus terbebas dari unsur emotif. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)
Matematika
Semua ilmu pengetahuan sudah mempergunakan matematika, baik matematika sebagai pengembangan aljabar maupun statistik. Philosophy modern juga tidak akan tepat bila pengetahuan tentang matematika tidak mencukupi. Banyak sekali ilmu-ilmu sosial yang mempergunakan matematika sebagai sosiometri, psychometri, ekonometri, dan seterusnya. Hampir bisa dikatakan bahwa fungsi matematika sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Matematika mempunyai peranan penting dalam berpikir deduktif, sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif. Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Dalam hal ini kita katakan bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Lambang-lambang dari matematika yang dibuat secara artifisial dan individual yang merupakan perjanjian berlaku khusus untuk masalah yang sedang kita kaji. Sebuah objek yang kita telaah dapat kita lambangkan dengan apa saja sesuai dengan perjanjian. Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Dalam bahasa verbal, bila kita membandingkan dua objek yang berlainan, umpamanya gajah dan semut maka kita hanya bisa mengatakan gajah lebih besar dari pada semut. Namun, jika ingin diketahui berapa besar gajah dibanding semut maka kita akan mengalami kesukaran dalam menghubungkannya dengan bahasa verbal. Oleh karena itu, diperlukan bahasa matematika untuk menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Bahasa verbal hanya mampu mengatakan pernyataan yang bersifat kualitatif dan matematika mampu menjelaskan pernyataan dalam bentuk kuantitatif. Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu. Ilmu memberikan jawaban yang lebih bersifat eksak dan memungkinkan pemecahan masalah secara tepat serta cermat. Matematika memungkinkan ilmu mengalami perkembangan dari tahap kualitatif ke kuantitatif. Perkembangan ini merupakan suatu hal yang induksi-deduksi imperatif bila kita menghendaki daya prediksi dan kontrol yang lebih tepat dan cermat dari ilmu. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)
Statistika
Ilmu secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang telah diuji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah merupakan fakta, di mana konsekuensinya dapat diuji, baik dengan jalan mempergunakan pancaindra maupun dengan alat-alat yang membantu pancaindra tersebut. Pengujian secara empiris merupakan salah satu mata rantai dalam metode ilmiah yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya. Kalau kita telaah lebih dalam, pengujian merupakan proses pengumpulan data yang relevan dengan hipotesis yang diajukan. Sekiranya hipotesis didukung oleh fakta-fakta empiris maka pernyataan hipotesis tersebut diterima atau disahkan kebenarannya. Sebaliknya, jika hipotesis tersebut bertentangan dengan kenyataan, hipotesis itu ditolak. Pengujian mengharuskan kita untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individu. Logika deduktif berpaling kepada matematika sebagai sarana penalaran penarikan kesimpulan, sedangkan logika induktif berpaling kepada statistika. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih saksama. Kesimpulan yang ditarik dalam penalaran deduktif adalah benar jika premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sementara dalam penalaran induktif, meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah maka kesimpulan itu belum tentu benar. Namun, kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Pengambilan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang dihadapi. Dalam hal ini statistika memberikan jalan keluar untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan. Statistika mampu memberikan secara kuantitatif tingkat ketelitian dari kesimpulan yang ditarik tersebut, yakni makin besar contoh yang diambil maka makin tinggi pula tingkat ketelitian kesimpulan tersebut. Sebaliknya, makin sedikit contoh yang diambil maka makin rendah pula tingkat ketelitiannya. Statistika sebagai sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah, statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadi secara kebetulan. (Suaedi. 2016. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.)




0 komentar:

Posting Komentar

Blog Archive